Best Blogger Tips

Saturday, July 20, 2013

Bangunan Rumah Adat Kudus

Bangunan Rumah Adat Kudus

Rumah adat Kudus merupakan sebuah bangunan tradisional hasil evolusi kebudayaan maupun kemampuan daya cipta dari masyarakat. Sehingga dapat menghasilkan sebuah arsitektur rumah tinggal yang mewah, megah, indah, dan memiliki banyak makna.
Rumah / bangunan tersebut berbentuk "Joglo Pencu", dan berdiri diatas landasan lima trap yang disebut "Bancik kapisan, Bancik kapindo, Bancik katelu, Jogan jogo satru (Ruang lantai depan), Jogan lebet (Lantai ruang dalam). Maknanya, agar pemilik rumah taat melaksanakan lima rukun islam.
Bagian-bagian dari Rumah Adat Kudus, antara lain :

1. Gebyok
Berfungsi pembatas / penyekat antar ruang. Misalnya sebagai pembatas antara ruang tamu (Jogo satru) dengan ruang keluarga.
Gebyok juga bisa digunakan sebagai penghias ruangan, background untuk ruang santai, dan sebagainya.








2. Gapura
Merupakan bagian dari gebyok yang berupa pintu masuk, dan biasanya berfungsi untuk pintu utama antar ruang / penghubung ruangan lainnya dalam rumah, bisa juga digunakan untuk penghias ruangan.









3. Gedongan
Merupakan ruang utama didalam ruang dalam (Jogan lebet), yang berfungsi sebagai tempat tidur utama maupun tempat penyimpanan pusaka serta harta dari pemiliknya.
Gedongan juga bisa digunakan sebagai penyekat antara ruang keluarga maupun penyekat antar kamar, salain itu juga sebagai background penghias ruangan, dan sebagainya.






4. Joglo
Merupakan kerangka utama dari Rumah Adat Kudus yang terdiri dari Soko Guru berupa empat tiang utama, dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) ataupun tumpang telu (tumpang tiga) diatasnya. jumlah pengeret disesuaikan kemampuan ekonomi / daya beli pemiliknya.
Selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga berguna sebagai tumpuan agar atap rumah bisa berbentuk Pencu.
Joglo juga dapat dimanfaatkan, antara lain :
> Penghias halaman rumah.
> Ditempatkan di samping kolam renang sbagai tempat bersantai.
> Ditempatkan di halaman / taman rumah.
> Dipakai sebagai garasi mobil.

Tari Kretek Kudus

Agak aneh memang, mulai dari memilih tembakau, hingga bagaimana cara memasarkannya, semuanya diceritakan dalam satu tarian, tari Kretek. Tari ini merupakan sebuah tari asli Kudus yang menceritakan para buruh rokok yang sedang bekerja membuat rokok, mulai dari pemilihan tembakau hingga rokok siap dipasarkan.
http://anjar-arto.blogspot.com/Tarian dibawakan beberapa penari perempuan sebagai representasi buruh mbatil dan penari lelaki sebagai representasi dari seorang mandor. Buruh mbatil adalah buruh rokok yang kerjanya mengguntingi atau merapikan ujung-ujung rokok. Sementara sang mandor adalah bos yang mengawasi buruh rokok dan mempunyai kuasa untuk menyortir atau menyeleksi rokok garapan buruh.
Awalnya tari Kretek bernama tari Mbatil. Namun, karena nama mbatil tidak begitu dikenal di masyarakat, digantilah dengan tari Kretek. Tari ini mulai populer sejak 1985, yang konon diciptakan seniman Endang Tonny. Dalam tari Kretek, gerakannya terlihat rancak. Dibawakan beberapa penari perempuan yang cantik jelita serta satu penari lelaki.
Para penari perempuan menggunakan pakaian khas Kudus, namun bukan pakaian adat. Tak hanya itu, penari perempuan juga memakai caping serta memegang tampah. Adapun yang lelaki hanya memakai blangkon.  Kerancakan serta kelinca han penari Kretek tampaknya tidak lepas dari iringan musik gamelan yang mengalun. Lirik lagu menceritakan macammacam rokok yang ada di Kudus.
Melenggak-lenggok dengan senyuman centil, penari perempuan mencoba menggoda sang mandor. Pun sebaliknya, kadang penari lelaki keganjenan menggoda buruh mbatil. Konon memang seperti itu sebenarnya yang terjadi di tempat pembuatan rokok keretek. Dalam tarian Kretek, diceritakan awal mula pembuatan rokok keretek. Yakni mulai dari cara memilih tembakau yang baik untuk dipakai membuat rokok. Setelah menjadi rokok, tugas buruh mbatil selanjutnya ialah memotong bagian ujung rokok untuk merapikannya. Nah, habis itu, buruh mbatil membawa rokok tadi ke mandor untuk diperiksa.
Ketika memeriksa rokok, sang mandor kadang memasang muka seram atau malah mesem-mesem kepada mereka. Kalau mandor sudah senyum, bisa dipastikan rokok tak akan tersortir. Gemulai tangan sang penari perempuan menggambarkan lincahnya seorang buruh rokok dalam melinting serta membatil.
Ada sebuah istilah guyon dalam tari Kretek, yakni pembatil menggoda mandor agar rokok tidak banyak yang disortir. Atau mandor yang menggoda, dengna harapan pembatil tertarik dan jatuh hati kepadanya. Dalam tari Kretek, sang mandor selalu mondar-mandir mengelilingi penari-penari perempuan untuk memeriksa dan terkadang bertolak pinggang melihat beberapa penari, menunjukkan kekuasaannya.

Kupatan

Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi, yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan. Kupatan yaitu tradisi yang dilaksanakan pada hari ke-7 setelah Idul Fitri dengan keramaian hiburan rakyat mulai pagi sampai sore. Tradisi ini sangat terasa jika kita berada di kota Kudus, Jepara, Pati, Demak, Kendal dan daerah-daerah yang lain terutama Pantura. Karena dihari kupatan, masyarakat Kudus, Jepara dan sekitar merayakan kupatan dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu, misalnya Bulusan di Kudus, pantai Kartini dan Bandengan di Jepara. Tempat tersebut sampai sekarang masih menjadi wisata favorit untuk menghabiskan hari raya Kupatan.
Tidak diketahui persis kapan mulai berkembangnya tradisi Kupatan dan apa makna filosofi dari perayaan tradisi tersebut. Ada yang berpendapat bahwa Kupatan merupakan hari raya orang yang berpuasa 6 hari pada satu minggu setelah Lebaran hari pertama yaitu tanggal 2-7 Syawal. Pendapat lain mengatakan bahwa Kupatan berasal dari kata Kupat singkatan dari ngaku lepat, artinya adalah mengaku salah. Kupatan berarti ngaku kelepatan, mengakui banyak kesalahan. Apapun makna dan filosofinya, Kupatan merupakan tradisi yang penuh dengan makna khususnya Jawa. Secara sosiologis, seolah Kupatan telah mengajarkan arti pentingnya saling bertemu dan saling mengakui kesalahan serta memaafkan satu sama lain.
Tradisi Kupatan berangkat dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. Sehingga tradisi Kupatan menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Ja a Nur  yang berarti telah datang cahaya. Biasanya oleh masyarakat Jawa, janur digunakan dalam suasana suka cita, umumnya dipasang dalam acara pernikahan atau momen bahagia lain.

Wayang sebagai media pesan

Kudus, Terdaftar di UNESCO pada tanggal 7 november 2003 menjadikan Wayang naik daun dan menjadi icon negara Indonesia. Peningalan budaya leluhur ini tak sepenuhnya sebagus prestasinya.
Wayang adalah budaya pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di pulau Jawa. Menjadikan wayang menjadi primadona di pulau tersebut. Pertunjukan wayang merupakan salah satu objek menarik dari peninggalan ini, pertunjukan wayang tersebut biasanya digelar pada bulan-bulan tertentu atau perayaan tertentu.
Biasanya pertunjukan wayang ini digelar setiap bulan ruwah pada penanggalan Jawa, namun ada juga pergelaran wayang yang dilakukan sebagai ucapan syukur. "Dalang" atau pencerita wayang adalah seorang laki-laki yang memimpin jalannya pertunjukan wayang.
Dalang
Wayang kulit merupakan jenis mediasi wayang yang biasanya digunakan dalam pertunjukan. Setiap tokoh wayang yang dimainkan biasanya mempunyai watak sendiri-sendiri, bahkan ada tokoh pewayangan yang tak diperbolehkan dimainkan di daerah tertentu. Isi dari pertunjukan wayang berbeda-beda, biasanya seorang dalang menceritakan tentang ekonomi, keagaaman dan cerita pewayangan.
Tak jarang saat tradisi tersebut dilanggar sering terjadi petaka didaerah tersebut, tragedi disetiap daerah berbeda-beda, ada yang gempa, wabah penyakit bahkan kematian warga. Biasanya sebelum petunjukan seorang dalang melakukan puasa beberapa hari sebagai syarat seorang dalang, dalang tersebut biasanya ditemani oleh sinden yang membacakan kata-kata petuah.
Gamelan adalah jenis musik yang digunakan saat pertunjukan wayang, tak pernah absen gemelan tersebut dalam setiap pertunjukan. Namun dibalik pentingnya seorang dalang tersimpan kepedihan, pasalnya generasi muda sekarang sudah jarang mempelajari ilmu perwayangan.
Jenis wayang di Indonesia berbeda-beda, salah satunya wayang kulit dan wayang boneka. Harga 9-10 setiap pertunjukan membuat wayang tetap axis, sampai sekarang pertunjukan wayang masih di lestarikan oleh masyarakat

Saturday, June 15, 2013

Maulidan Jawiyyan


Aksen Jawa yang Unik dari Desa Padurenan

Email Cetak
KUDUS- Suasana ramai mewarnai sore Desa Padurenan, masyarakat tumpah ruah memadati pinggir lapangan depan Balaidesa Padurenan Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Sepanjang jalan menuju tempat berlangsungnya acara pun tak lekang oleh banyaknya pengunjung yang turut menyaksikan meriahnya kirab yang kali pertama diadakan untuk menyambut puncak Maulid Jawiyyan yang berusia dua abad lebih pada malam harinya.
Arak-arakan kirab Maulidan Jawiyyan bermuara di lapangan depan Balaidesa Padurenan. Berbagai kelompok kirab pun menampilkan karyanya masing-masing dihadapan masyarakat dan para tamu undangan.
Beberapa kelompok nampak membawa atribut sederhana , dari hasil tanam petani penduduk setempat, kerajinan bordir, konveksi khas sentra industry rumah tangga desa produktif (Padurenan), hingga penampilan kreativitas kelompok peserta kirab, seperti wayang pring (bambu) yang dimainkan kelompok anak laki-laki, dan drum blek yang juga turut mewarnai kemeriahan Gebyar Maulid Jawiyyan.

Tak hanya orang dewasa dan anak laki-laki, anak-anak perempuan berkerudung jilbab pun seakan tak mau kalah dalam mengikuti kirab. Dengan memainkan permainan anak tradisional khas padurenan, ternyata keceriaan mereka dalam bermain mampu memikat perhatian pengunjung.
“Inti Gebyar Maulid Jawiyyan, nanti malam di Masjid As-Syarif satu,” kata Petinggi Desa Padurenan, Afif Chuzaimatum, disela-sela Gebyar Maulid Jawiyyan Desa Padurenan 2010, Kamis (25/02). Sebagai acara puncak Gebyar Maulid Jawiyyan, Afif menjelaskan pada malam 12 Rabiul Awwal, dilakuakan pembacaan albarjanzi dengan aksen jawa atau yang lebih akrab disebut masyarakat maulid jawiyyan.
Dalam praktiknya, pelantun syair Maulid Jawiyyan ini terdiri dari dua kelompok yang bertugas melantunkan lagu Barzanji dengan aksen Jawa secara bergantian. hal itu disebabkan karena syair yang dilantunkan dalam Maulid Jawiyyan selalu lantang, jika hanya satu kelompok akan terasa berat, dan bisa saja sang pelantun tidak mampu mengingat tingginya nada.
“Maulidan Jawiyyan ini sudah ada sejak lama, tepatnya semasa mbah Syarif,” Papar Afif. Selain itu, Afif menjelaskan dari keterangan yang ia dapat dari sesepuh desa, menyatakan keberadaan Maulid Jawiyyan itu ada setelah berdirinya Masjid As Syarif Satu.
Memang belum ada yang tahu pasti tentang kapan berdirinya Masji As Syarif satu. Namun dapat diprediksikan berdiri masjid tua itu pada tahun 1209 Hijriyyah, atau tahun 1976 Masehi yang dapat terbaca melalui salah satu tiang masjid dengan tulisan Arab ghoin, ra, tha’ yang menceritakan jumlah 1209 tahun hijriyah.
Kalau tulisan ghoin, ra, tha’ itu benar menjelaskan tahun 1209 Hijriyyah, berarti Usia Masjid peninggalan mbah Syarif sudah berusia sekitar dua abad lebih. Begitu pula Usia Maulid Jawiyyan yang ada di Padurenan itu.
“Maulid Jawiyyan merupakan kesinambungan antara wisata budaya dan religi, sehingga nantinya mampu mengangkat potensi desa,” ungkapnya. Maulid Jawiyyan pula, menurutnya memiliki nilai budaya yang hebat, namun belum terkenal, dia pun berharap dengan adanya kirab mampu mengangkat Maulid Jawiyan dikenal tidak hanya di Kabupaten Kudus saja, melainkan mampu di kenal di tingkatan nasional. (Kholidin-Portal UMK).

Tuesday, February 12, 2013

Modern Pernik dengan Kirab Ampyang

              Dalam berjalannya waktu sehingga tak terasa menginjak tahun 2013 yang menandakan semakin meningkatnya budaya modern yang populer saat ini. Banyak masyarakat Indonesia yang meninggalkan budaya lama dan beralih ke budaya baru, tapi tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan dengan kuat budaya lokal yang telah mendarah daging dalam dirinya. Sebut saja kota kecil di daerah Jawa Tengah ini masih mempertahankan budaya lokalnya yaitu Kirab Ampyang dengan sangat baik.
            Di desa Loram, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus terdapat budaya lokal yang masih berkembang hingga detik ini, yaitu Kirab Ampyang. Terlihat dari kegiatan tradisi Kirab Ampyang yang dilakukan pada 24/1 kemarin. Masyarakat masih antusias dengan tradisi tersebut sehingga tidak ada tanda punahnya tradisi Kirab Ampyang. Kirab Ampyang terus berkembang menjadi lebih baik dari tahun ke tahun seperti yang diucapkan oleh salah satu warga yang rutin mengikutinya setiap tahun, “Berawal dari tradisi Ampyang ini, Kudus akan lebih dikenal jika digarap dengan maksimal. Kirab Ampyang hari ini sudah lebih baik dan meriah dibanding dua tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun mendatang, Ampyang bisa lebih meriah, tak kalah dengan tradisi Sekaten di Yogyakarta atau pun Surakarta," ujarnya.
            Kirab Ampyang sendiri merupakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bertepatan tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah. Disebut Kirab Ampyang karena merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT dengan sedekah hasil bumi melalui arak-arakan makanan hasil bumi. Makanan yang wajib adalah krupuk ampyang, yang terbuat dari tepung lalu dicampur dengan serabut bambu sehingga berbentuk keriting.
Pelaksaan Kirab Ampyang tidak hanya dilakukan dengan membagikan makanan ke warga tapi ada pertunjukan seni oleh peserta.
            Peserta Kirab Ampyang biasanya terdiri dari murid TK, SLTP, SLTA, aktivis musholla, organisasi masyarakat dan pengusaha lokal yang membawakan pertunjukan kesenian sedangkan jurinya adalah tokoh masyarakat dan sesepuh. Dari Kirab Ampyang yang sudah terlaksana, pertunjukan seni biasanya berupa drum band, tong tek, musik rebana, peserta yang memakai pakaian adat, miniatur menara kudus, bedug raksasa, serta yang utama adalah gunungan ampyang. 
Acara diawali dengan arakan gunungan ampyang keliling desa. Gunungan ampyang berisi makanan hasil bumi seperti buah-buahan dan wajib ada krupuk ampyang. Arakan keliling desa ramai menjadi pusat perhatian karena selain gunungan ampyang yang menggoda juga bersamaan dengan pertunjukan seni oleh peserta. Lalu setelah diarak keliling desa, kemudian berhenti di Musholla setempat. Gunungan ampyang dikumpulkan ke panitia untuk didoakan dengan khidmat sebagai wujud syukur dan agar masyarakat bisa meneladani sifat Nabi Muhammad SAW sehingga tidak sesat dalam menapaki hidup. Dan terakhir adalah pembagian makanan penduduk sekitar Loram Kulon.
            Sebenarnya pencetus Kirab Ampyang adalah suami dari ratu Kalinyamat yaitu Sultan Hadlirin. Beliau sudah lama sekali melakukan Kirab Ampyang sebagai peringatan Maulud nabi di Loram Kulon sehingga setelah beliau wafat warga loram kulon senatiasa melestarikan budaya yang telah diajarkan Sultan Hadlirin. Betapa pentingya budaya pelestarian Kirab Ampyang seperti yang dikatakan Bupati Kudus, KH. Mustofa, “Nilai keluhuran tradisi ini jangan sampai luntur oleh perkembangan zaman.”
Sehingga zaman yang terus berkembang maka budaya baru pun banyak berdatangan. Masyarakat Indonesia tidak akan mampu untuk menghentikan perkembangan yang disebabkan oleh Global Warming tapi masyarakat Indonesia bisa dan dianjurkan untuk melestarikan budaya lokal seperti Kirab Ampyang. Maka, Indonesia akan penuh pernik budaya yang unik bukan?



          
Dalam berjalannya waktu sehingga tak terasa menginjak tahun 2013 yang menandakan semakin meningkatnya budaya modern yang populer saat ini. Banyak masyarakat Indonesia yang meninggalkan budaya lama dan beralih ke budaya baru, tapi tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang masih mempertahankan dengan kuat budaya lokal yang telah mendarah daging dalam dirinya. Sebut saja kota kecil di daerah Jawa Tengah ini masih mempertahankan budaya lokalnya yaitu Kirab Ampyang dengan sangat baik.
            Di desa Loram, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus terdapat budaya lokal yang masih berkembang hingga detik ini, yaitu Kirab Ampyang. Terlihat dari kegiatan tradisi Kirab Ampyang yang dilakukan pada 24/1 kemarin. Masyarakat masih antusias dengan tradisi tersebut sehingga tidak ada tanda punahnya tradisi Kirab Ampyang. Kirab Ampyang terus berkembang menjadi lebih baik dari tahun ke tahun seperti yang diucapkan oleh salah satu warga yang rutin mengikutinya setiap tahun, “Berawal dari tradisi Ampyang ini, Kudus akan lebih dikenal jika digarap dengan maksimal. Kirab Ampyang hari ini sudah lebih baik dan meriah dibanding dua tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun mendatang, Ampyang bisa lebih meriah, tak kalah dengan tradisi Sekaten di Yogyakarta atau pun Surakarta," ujarnya.
            Kirab Ampyang sendiri merupakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bertepatan tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Hijriyah. Disebut Kirab Ampyang karena merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT dengan sedekah hasil bumi melalui arak-arakan makanan hasil bumi. Makanan yang wajib adalah krupuk ampyang, yang terbuat dari tepung lalu dicampur dengan serabut bambu sehingga berbentuk keriting.
Pelaksaan Kirab Ampyang tidak hanya dilakukan dengan membagikan makanan ke warga tapi ada pertunjukan seni oleh peserta.
            Peserta Kirab Ampyang biasanya terdiri dari murid TK, SLTP, SLTA, aktivis musholla, organisasi masyarakat dan pengusaha lokal yang membawakan pertunjukan kesenian sedangkan jurinya adalah tokoh masyarakat dan sesepuh. Dari Kirab Ampyang yang sudah terlaksana, pertunjukan seni biasanya berupa drum band, tong tek, musik rebana, peserta yang memakai pakaian adat, miniatur menara kudus, bedug raksasa, serta yang utama adalah gunungan ampyang. 
Acara diawali dengan arakan gunungan ampyang keliling desa. Gunungan ampyang berisi makanan hasil bumi seperti buah-buahan dan wajib ada krupuk ampyang. Arakan keliling desa ramai menjadi pusat perhatian karena selain gunungan ampyang yang menggoda juga bersamaan dengan pertunjukan seni oleh peserta. Lalu setelah diarak keliling desa, kemudian berhenti di Musholla setempat. Gunungan ampyang dikumpulkan ke panitia untuk didoakan dengan khidmat sebagai wujud syukur dan agar masyarakat bisa meneladani sifat Nabi Muhammad SAW sehingga tidak sesat dalam menapaki hidup. Dan terakhir adalah pembagian makanan penduduk sekitar Loram Kulon.
            Sebenarnya pencetus Kirab Ampyang adalah suami dari ratu Kalinyamat yaitu Sultan Hadlirin. Beliau sudah lama sekali melakukan Kirab Ampyang sebagai peringatan Maulud nabi di Loram Kulon sehingga setelah beliau wafat warga loram kulon senatiasa melestarikan budaya yang telah diajarkan Sultan Hadlirin. Betapa pentingya budaya pelestarian Kirab Ampyang seperti yang dikatakan Bupati Kudus, KH. Mustofa, “Nilai keluhuran tradisi ini jangan sampai luntur oleh perkembangan zaman.”
Sehingga zaman yang terus berkembang maka budaya baru pun banyak berdatangan. Masyarakat Indonesia tidak akan mampu untuk menghentikan perkembangan yang disebabkan oleh Global Warming tapi masyarakat Indonesia bisa dan dianjurkan untuk melestarikan budaya lokal seperti Kirab Ampyang. Maka, Indonesia akan penuh pernik budaya yang unik bukan? [Ammahayu]

Monday, February 11, 2013

Buka Luwur Sunan Kudus


Di Kudus ada sebuah tradisi yang sangat unik, yaitu Buka Luwur. Buka Luwur di  Kudus sangat berhubungan erat dengan salah seorang tokoh wali songo, Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan alias Sunan Kudus.


sunan kudus

Bagi masyarakat Kudus tentunya sudah mengenal acara Buka Luwur Sunan Kudus. Buka Luwur adalah upacara penggantian klambu yang menyelubungi makam Sunan Kudus diganti dengan kelambu yang baru. Luwur makam Sunan Kudus di lepas pada tanggal 1 Muharrom dan pemasangan luwur yang baru dimulai pada tanggal 6 Muharrom. Pengelepasan di lakukan oleh para sesepuh, kyai,  hingga masyarakat sekitar area Menara Kudus secara hati – hati dan membawanya ke pendopo Tajug. Beberapa orang menganggap acara ini merupakan upacara peringatan wafatnya Sunan Kudus atau disebut dengan “Khaul” yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram atau 10 Syura. Namun ada juga sebagian masyarakat yang menganggap bahwa upacara tradisional Buka Luwur sebenarnya bukanlah Khaul atau peringatan wafatnya Sunan Kudus, sebab kapan tanggal wafatnya Sunan Kudus tidak atau belum diketahui.

proses mengganti luwur
Tradisi turun temurun ini diawali dengan penjamasan pusaka berupa Keris Cinthaka dan Dua Trisula. Dilanjutkan dengan pelepasan luwur, pembahasan masalah keagamaan, doa Rosul, terbang papat, pembagian Bubur Asyura, khataman Alquran, santunan anak yatim, pengajian, dan pembagian berkat.

bubur asyura
Namun beberapa orang hanya ingin mendapatkan nasi jangkrik. Sebagian warga di Kudus dan sekitarnya berkeyakinan, bahwa nasi jangkrik yang dibagikan oleh pengurus masjid tersebut membawa berkah. Mereka percaya, bahwa jika dimakan, nasi yang dibungkus daun jati ini mampu menjaga kesehatan tubuh serta mengobati berbagai penyakit . Nasi jangkrik biasanya berlauk daging kerbau atau kambing, lauk tersebut dimasak menggunakan bumbu garam dan asam tanpa kuah. Konon lauk daging pada Nasi jangkrik tersebut merupakan makanan kegemaran Sunan Kudus. Bahan-bahan untuk pembuatan Nasi jangkrik diperoleh dari sumbangan sukarela warga Kudus dan sekitarnya. Pemberi sumbangan bukan hanya dari kalangan masyarakat muslim, tetapi juga dari masyarakat beragama lain seperti masyarakat yang beragama kristen dan tionghoa.

proses pemasakan lauk pada nasi jangkrik
nasi jangkrik

warga kudus dan sekitarnya berebut nasi jangkrik

Penerima Nasi jangkrik bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah, namun ada dari kalangan menengah ke atas. Bukan hanya dari masyarakat beragama Islam, masyarakat beragama tionghoa dan kristen pun ikut mengantre dan menginginkan nasi jangkrik. Ini merupakan nilai utama dari tradisi buka luwur. yaitu sebuah kebersamaan dan adanya toleransi antar umat beragama. Tentunya nilai-nilai tersebut harus tetap dijaga dan diamalkan.
pembagian nasi jangkrik oleh panitia 

Untuk tradisi Buka Luwur tentunya harus di lestarikan dan di aktualisasikan terus untuk generasi – generasi berikutnya. Karena tradisi ini merupakan cerminan sistem nilai budaya dari masyarakat Kudus yang religius, dan masyarakat Jawa pada umumnya. Selain itu, adanya sifat gotong royong dan toleransi dalam pelaksanaan Buka Luwur yang juga merupakan warisan dari nenek moyang merupakan pelajaran paling berharga dari acara Buka Luwur.

Saturday, February 2, 2013

Tradisi Dandangan Di Kudus


Setiap menjelang Bulan Puasa, kota Kudus memiliki tradisi yang oleh warga setempat dinamai “Dandangan”.  Lokasi Dandangan berpusat di jalan Menara Kudus membentang ke jalan-jalan di sekitarnya ke timur hingga perempatan Pekojan dan ke barat hingga Pasar Jember (jalan Kudus-Jepara).
 Tradisi Dandangan ini awalnya pada zaman dahulu masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Masjid "Al Aqsha" yang kini populer dengan sebutan Masjid "Menara" Kudus, menunggu pengumuman awal puasa Ramadhan dari Syeikh Dja'far Sodiq (dikenal dengan sebutan Sunan Kudus). Karena Syeikh Dja'far Sodiq adalah pemimpin agama Islam di Kudus dan ahli falak. Setelah keputusan awal puasa itu disampaikan oleh Kanjeng Sunan Kudus, maka dipukullah beduk di Masjid Menara Kudus, "dang-dang-dang", begitu bunyinya. Dari suara beduk itulah, istilah Dandangan lahir.
Namun seiring perkembangannya Dandangan yang dulu dikenal dengan acara tabuh beduk saja, sekarang menjelma menjadi acara selayaknya pasar malam. Saya rasa penamaan ‘Dandangan’ ini mirip dengan ‘Dugderan” di Semarang, yang juga berasal dari suara bedug: “dug dug dug, dher!”. Tetapi ciri khas Dandangan ini adalah menyampaikan awal Ramadhan dengan suara bedug "dang-dang-dang".
Pada masa Sunan Kudus penjaja dagangan dari masyarakat sekitar Menara Kudus, dagangan yang ditawarkan hanya makanan yang siap konsumsi. Beriring perkembangan zaman jumlah penjaja dagangan sangat banyak dan beragam barang yang ditawarkan. Barang-barang atau produk yang ditawarkan sangat beragam, antara lain: pakaian, sepatu dan sandal, boneka, perhiasan, furnitur, hasil kerajinan, mainan anak-anak, dan berbagai jenis makanan. Di sini juga ada penjual kerak telur khas Betawi.
Pada masa Sunan Kudus Dandangan dibuka pada malam hari. Seiring perkembangan zaman Dandangan dibuka hampir sepanjang hari, dari pagi hingga malam hari, pengunjung acara ini paling banyak pada malam hari, selepas Maghrib hingga menjelang tengah malam. Pada saat jumlah pengunjung memuncak inilah kemacetan jalan-jalan di sekitar lokasi tak terelakkan. 
Jalan tempat lokasi utama Dandangan itu sendiri telah ditutup oleh pihak penyelenggara Dipenda Kudus. Hanya sepeda motor yang dapat lewat dengan berjalan lambat di sela lapak-lapak para pedagang dan lalu-lalang pengunjung yang berjalan kaki.
Pengunjung Dandangan meliputi segala usia, mulai anak-anak hingga lanjut usia, pria dan wanita. Hanya saja usia remaja tampak mendominasi. Kemungkinan besar, pengunjung ini tidak hanya berasal dari Kudus, tetapi juga dari daerah-daerah sekitarnya seperti Demak, Jepara, Pati, dan Grobogan.
 Tradisi Dandangan tentunya harus dilestarikan terus untuk generasi-generasi berikutnya. Karena tradisi ini merupakan cerminan masyarakat Kudus untuk menyambut datangnya Bulan Ramadhan.



 
Copyright 2013 Budaya Kudus. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Budaya Kudus
Blogger by Budaya Kudus